Kala itu aku masih duduk dibangku sekolah
dasar. Mungkin aku beruntung, Tuhan memberikan salah satu anugrahnya begitu
cepat. Bahkan bisa dikatakan terlalu cepat untuk bocah seusia ku. Namanya Nia,
ya sebut saja begitu. Gadis kecil berparas cantik nan indah akhlaknya. Nia
dilahirkan dalam sebuah keluarga yang berkecukupan lebih. Berbeda dengan ku
yang terlahir dari sebuah keluarga yang sangat sederhana dengan keterbatasan
ekonomi. Banyak anak laki-laki seusia ku yang menyukainya, tak salah memang.
Selain cantik, Nia dikenal begitu pandai dan baik hati bahkan untuk anak
perempuan seusianya ia sudah fasih mengaji. Tuhan menciptakannya begitu
sempurna, tapi apalah daya ku karna dulu perasaan itu hanyalah sebatas kekaguman
anak laki-laki terhadap teman wanitanya.
Aku dan Nia adalah teman mengaji disalah
satu madrasah disekitar wilayah tempat kami tinggal. Dulu semasih cinta itu
kelam, aku tak pernah tau dan tak pernah ingin tau apa yang ia rasakan
kepadaku. Bahkan aku tak pernah berfikir jikalau nantinya ia tau tentang
perasaan ini. Perasaan yang ku jaga baik-baik. Apalagi hasrat untuk bisa
bersatu, mungkin aku perlu tertawa dalam masjid dan berteriak "Siapa aku
ini? . . ."
Sahabatku saat itu sebut saja Abdul. Hanyalah
orang satu-satunya yang tau tentang perasaan ini. Terkadang Abdul sering
membuat candaan agar aku lebih berani untuk menyapa dan mendekati Nia. Tapi aku
tak pernah suka caranya itu. Bahkan teman-teman Nia sudah mulai melakukan hal
yang sama. Damn! Betapa malunya ketika aku merasa seperti dipasang-pasangkan.
Selang beberapa waktu, aku merasa Abdul
mulai menjauhi ku. Padahal sebelumnya tak pernah terjadi permasalahan hebat
diantara kami berdua. Hari yang penuh tanda tanya dibenak ku akan perubahan
sikap Abdul. Tak lama sebuah berita mengejutkan yang terkesan dirahasiakan
muncul. Ternyata Abdul diam-diam juga menyukai Nia. Abdul memberikan barang
kepada Nia dan secara langsung mengatakan bahwa selama ini, dia memendam rasa
kepada Nia. Itu hanyalah sedikit kabar yang aku dengar, entah kejadian
sesungguhnya seperti apa aku tak pernah tau. Tapi semenjak kabar itu mulai
beredar, hubunganku dengan Abdul mulai renggang. Jika cinta itu memang hadir
dalam dirinya. Aku tak pernah melarang toh aku tak pernah punya niat untuk
mendekati Nia sedikitpun. Jika tak salah dengar kabar, Nia marah dan tak suka dengan
kelakuan Abdul dan membuat hubungan mereka malah makin menjauh.
Aku dan Nia memang tak sekelas saat
mengaji. Aku sengaja mencari kelas yang berbeda agar konsentrasiku tak buyar
dalam kelas. Nyatanya dalam ketidaksengajaan kami sering berpapasan dan
memandang satu sama lain. Tak ada kelas layaknya sekolah pada umumnya. Kami
mengaji masih dalam satu masjid tanpa dinding yang membatasi antar kelas.
Proses belajar pun lesehan hanya dengan kursi panjang setinggi dada untuk
menjadi meja saat kami belajar. Aku tak bisa berbohong bahwa aku memang suka
meliriknya diam-diam. Dan bahkan beberapa kali saling tersipu malu karna
tertangkap saling memperhatikan. Tuhan merencanakan kebetulannya begitu indah.
Dan kebetulan yang selalu aku tunggu-tunggu.
Setelah segilintir cerita berlalu rasa ini
mulai lancang. Aku mulai berfikir dan menerka akan perasaan Nia padaku. Entahlah,
tapi rasanya ini sangat menyebalkan. Harus menerka-nerka perasaan seseorang. Sungguh
rasanya sangat tak pantas.
****
Suatu sore ketika aku hendak pergi ke
masjid untuk mengaji, terlihat samar beberapa orang teman Nia berkerumun di
pagar masjid. Entah apa yang mereka cari atau siapa yang mereka tunggu aku tak
peduli. Tapi semakin aku mendekat, mereka semakin geram dan bersiap melakukan
sesuatu.
“Oh Tuhan, betapa anehnya sore ini”,
sedikit ku menggumam dalam hati.
Dan apa yang aku khawatirkan terjadi.
Ketika aku melintasi pagar dengan penuh tanda tanya di kepala, tepat saat itu
seorang dari mereka memegang tanganku dan meletakkan secarik kertas dilipat
rapi ke dalam genggamanku.
"Harus dibaca ya . .", Sorak
seorang dari mereka lalu berhamburan pergi meninggalkanku.
Kejadian aneh yang mungkin sukar untuk
dilupakan. Sore itu aku seperti dihadapkan dengan sebuah permainan baru. Setelah
cukup lama bertanya-tanya apa isi dari secarik kertas ini, aku bergegas mencari
tempat aman untuk membacanya. Dikamar mandi belakang masjid aku bersembunyi dan
sejenak ku pandangi kertas yang tergenggam ditangan ku ini. Kertas itu
bergambarkan sebuah zodiak bertuliskan capricorn, itu zodiakku. Jujur saat ini
aku tak ingat betul isi seluruh surat itu. Tapi yang pasti pengirimnya adalah Nia,
seperti dugaanku sebelumnya. Awalnya aku mengira Nia tak nyaman dengan ku yang
suka meliriknya diam-diam. Ternyata aku salah, nyatanya ia menyimpan perasaan
yang sama seperti ku dan bahkan ia berharap untuk bisa bersama. Aku termenung
beberapa saat. Tak ada pemandangan indah yang menemani menikmati rasa yang
terbalaskan saat itu. Mungkin Nia begitu geram denganku yang tak kunjung
merespon lebih perasaannya. Hingga melakukan hal yang menurutku sendiri sedikit
nekat.
Tapi tiba-tiba pertanyaan itu terlintas
lagi dalam benakku. “Siapa aku ini? . . .”
Aku rasa, banyak anak laki-laki seusia ku
yang mempunyai kelebihan dibanding diriku ini. Tapi kenapa Nia malah memilih
aku? Aku tak bisa membiarkan perasaan ini berjalan terlalu jauh, cukup aku saja
dan menyimpannya diam-diam.
Dalam surat itu, aku baru menyadari sebuah
hal yang sudah Nia ketahui terlebih dahulu. Ternyata tanggal, bulan dan tahun
kelahiran kita hanya berbeda satu angka dan angka-angka itu sangat berurutan.
Aku : 07 Januari 1993
Nia : 08 Februari 1994
Sungguh ini lelucon yang menyesakkan hati.
Sekali lagi aku yakin ini hanya kebetulan yang telah direncanakan Tuhan.
Kebetulan yang mungkin lebih dari indah.
Beberapa hari setelahnya, aku membalas
surat dari Nia. Surat bergambar aquarius, zodiaknya. Dengan hati-hati ku tulis
agar tak menyakiti perasaannya. Bahwa untuk saat ini aku tak bisa menjalani sebuah hubungan. Sungguh kita masih
terlalu kecil untuk memikirkan jalan ini. Mungkin butuh empat, lima atau enam
tahun lagi ketika dewasa mulai membentuk kepribadian masing-masing. Apakah dia
akan merasakan hal yang sama ? Aku rasa tidak :)
Namun satu paragraf diatas hanyalah sebuah
kalimat ketegaranku semata. Karna sejujurnya aku juga ingin perasaan ini bisa
bersama. Tapi alasan yang sampai detik ini mungkin Nia pun "tak pernah
tau" adalah aku merasa tak pantas karna aku memang bukan dari keluarga
berada. Hanya itu yang selalu menghantui perasaan ini. Aku merasa berdosa
menyimpan rasa untuk seorang gadis yang begitu sempurna dimataku. Mungkin Nia
bisa saja mengatakan "aku tak peduli latar belakang keluargamu",
karna memang sebelumnya Nia sudah tau keadaanku seperti apa. Tapi jujur aku tak
pernah bisa berhenti memikirkan hal itu. Aku selalu merasa memendam perasaan
yang salah. Tak seharusnya aku memeliharanya hingga lancang seperti ini. Bukan
aku tak bersyukur dengan keadaanku, hanya aku merasa tak pantas untuk dirinya,
Nia.
Apakah aku berdosa menyalahkan anugrah ini
?
Cinta memang bisa datang kapanpun,
dimanapun dan pada siapapun. Dan Tuhan telah membuktikannya. Setelah semuanya
berlalu hubungan kita sedikit meredam. Tapi, tetap saja kebiasaanku untuk melirknya
diam-diam tak pernah bisa hilang. Aku tak pernah tau perasaannya saat itu atas
balasanku, entah kecewa atau mungkin ia membenciku. Yaa aku tak pernah tau
sampai detik aku menulis cerita ini.
****
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, aku
memutuskan untuk berhenti mengaji di madrasah dan memilih untuk mengaji
dirumah. Begitu pun dengan Nia. Sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama hingga akhirnya lulus, kami tak pernah bertemu atau bahkan saling mendengar
kabar. Jaman itu ponsel memang masih sangat jarang digunakan, apa lagi untuk
anak seusia ku sehingga untuk sekedar bersilaturahmi sangatlah susah.
Rindu memang agak sedikit menggelitik
perasaanku untuk segera bersua dengan Nia. Dan untungnya aku mendapatkan kabar
dari teman semasa SD dulu yang ternyata teman Nia di SMP, bahwa Nia akan
mendaftarkan dirinya di salah satu SMA favorit. Dengan harap agar bisa bertemu
dengannya, aku pun mendaftarkan diri disekolah itu. Bukan berharap bisa sekolah
dengan sekolah yang sama namun berharap saat tes masuk, aku bisa bertemu dengan
Nia. Hanya sekedar ingin bertemu pada saat tes saja, tak lebih. Karna aku tau
aku tak mungkin sekolah di SMA favorit yang biaya dan pergaulannya memang tak
setaraf dengan keadaanku.
Hari itu tiba, dimana tes masuk sekolah
favorit itu berlangsung. Sebelum tes dimulai, aku berkeliling untuk memastikan
dan sekedar ingin bertemu dengan Nia. Tapi usaha ku sia-sia, tak ku lihat Nia
disudut sekolah ini. Akhirnya bel menandakan tes akan segera dimulai, aku
selesaikan lembar demi lembar jawaban yang bahkan soalnya pun “tak aku baca”. Setelah
tes berakhir, aku keluar dari ruangan itu dengan tatapan pasrah. Mungkin saat
itu Tuhan belum mengizinkannya. Aku sangat kecewa, iya. Di detik-detik itu Tuhan
memang belum mengizinkan, tapi bukan berarti Tuhan tidak mengizinkan bukan ? Di
detik selanjutnya aku melihat sesosok gadis yang sudah bertahun ini aku
rindukan. Andai saja detik itu waktu terhenti, setidaknya aku punya banyak
waktu untuk menatapnya lebih lama lagi. Tak ada yang berubah dari dirinya,
lesung pipi yang manis, parasnya yang cantik. Sengaja aku tak menyapa, bagiku
melihatnya dari kejauhan saja sudah lebih dari cukup.
Masa SMA hampir berlalu, dan Tuhan pun
mempertemukan lagi aku dengannya. Kita mulai dipertemukan walau hanya dalam
dunia maya. Mulai berteman dalam facebook, twitter hingga BBM. Saling bersapa
kabar dan sudah mulai terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Baru kali itu,
aku berani sekedar menanyakan kabarnya. Lebih dari enam tahun cerita itu
berlalu dan ku rasa Nia sudah melupakan tentang secarik kertas dan perasaannya.
Tak disangka kami lolos dalam satu universitas, padahal sebelumnya tak ada
kesengajaan yang aku lakukan sama seperti saat SMA dulu. Kami masih dalam satu
fakultas namun berbeda jurusan. Awalnya sulit menerima keberadaannya, apa lagi
sampai bertatapan muka dengannya.
Tak bisa dihindari hal itupun terjadi. Dimana
aku dan Nia tak sengaja berpapasan walaupun ada sedikit rasa malu untuk saling
menyapa. Momen enam tahun lalu itu seakan-akan menjadi kenangan indah. Kenangan
yang sama-sama kita simpan dengan cara kita masing-masing. Dugaan ku tepat,
rasa yang dulu pernah ada kini sudah hilang begitu saja seiring berjalannya
waktu. Bahkan aku pun tak tahu Nia masih mengingatnya atau tidak. Bisa saja ia
malu untuk mengakuinya. Bisa saja.
Tapi kenangan itu tetaplah menjadi sebuah
cerita bagiku. Cerita yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Mungkin saat itu
memang bukan waktu yang tepat bagi seorang anak laki-laki yang masih duduk di
bangku Sekolah Dasar. Tapi dari pengalaman itu aku belajar, bahwa cinta tak semestinya
mempertimbangkan status sosial. Harta dan cinta adalah titipan. Jika kita sudah
dilimpahkan salah satu atau keduanya, kita bisa berbuat apa? Tugas kita hanya mensyukuri
dan menikmati itu sebagaimana mestinya. Sebagaimana aku menyukai gadis kecil
itu enam tahun silam.
Bagiku ini bukanlah cerita cinta anak SD.
Karna aku yakin tak banyak anak SD yang mampu berfikir jauh seperti apa yang
dilakukan oleh tokoh "aku". Berfikir untuk mempertimbangkan anugrah
bernama cinta.
Wassalam
Bocah Saico
Huaaahh berasa #jleb dihati.. kisah cinta2an itu ku alami juga.. tapi beda versi.. versi anak kuliahan.. kesenjangan sosial... oh tidakk..
ReplyDeletewaaaaaa ceritanya bagus banget rif :)
ReplyDeleteini kisah nyata bukan? jangan2 buat #NBBE ??
Endingnya bagus, terkadang kita tak pernah memikirkan apa yg akan terjadi di kemudian hari
awalnya kamu ingin ketemu si Nia, eh tapi pas kuliah malah satu fakultas.. wkwkwkkwkw
kereeen
walah...cerita anak SD yang keren...
ReplyDeleteem,,dewasa dan berfikir luar biasa ternyata bang arif pas masih kecil ya :P
bagus ya ceritanyaaaaa :')
ReplyDeletekecil-kecil udah kenal cinta..
lucu ih :3
bang lu mah terlalu merendah, but gue juga gitu waktu jaman2 SD. hehe
ReplyDeleteenak bang ceritnya, suatu saat mungkin tuhan punya rencana NIA dan bang Oges ini berjodoh AMIN..
Mungkin tuhan berencana menjodohkanmu dengan nia di kelak hari nanti.meski masih dalam skenario tuhan dan menjadi terusan dari cerita diatas :p
ReplyDeletegue sampe speechless liatnya, gak nyangka banget bang ayip bisa sedahsyat ini dalam bercerita .
ReplyDeletekeren banget sumpah, ini kisah nyata kan ?
aura dari cerita yang berdasarkan kisah nyata itu emang ngena banget lohh :bd
ciyus lu bang?
ReplyDeletenia pasti cakep, kyk temen gua dulu waktu mi (setingkat sd).. cuman sekarang gua udah g tau dimana nia itu berada... kalo elu masih mending bang, bisa diketemuin lagi
etsah kalimatnya bagus kak
ReplyDeleteya sapa tau si "Nia" baca *uhuk
ciye
ReplyDeletehuuaaahh lanjutannya gimana??
ReplyDeleteJadi pengen nangiss :')
ReplyDeleteTerharuu,, :'(
Hampir sama dengan kisahku.. :)
ReplyDeletehampir sama kayak kisahku,,,,, (adegan di madrasah)
ReplyDeletetapi aku masih smp, kelas 7 lagi...
perbedaannya itu..
waaaah menyentuh kisahnya
ReplyDelete